Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah. Dialah yang memberikan berbagai kenikmatan
kepada kita, yang dzahir maupun yang batin. Dia pula yang memberikan
kesempatan dan kesehatan sehingga kita bisa menegakkan
perintah-perintah-Nya. Semoga Allah menambahkan kenikmatan-Nya kepada
kita dengan menyampaikan kepada bulan mulia dan penuh berkah, Bulan suci
Ramadhan.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliaulah Uswah Hasanah
bagi umat manusia dalam ber-Islam. Beliau senantiasa beribadah kepada
Allah dan bertakwa dengan sesungguhnya hingga maut menjemputnya. Dan
meningkatkan amal ibadahnya berupa shalat, tilawah, shadaqah, dan
berbagai amal kebajikan di bulan Ramadhan.
Semoga
shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya
serta umatnya yang meniti jalan hidup dan sunnah-sunnahnya.
Ramadhan
sebantar lagi mendatangi kita. Tak kurang dari satu pekan, kita akan
mendapat tamu yang mulia. Dia datang membawa rahmat dan keberkahan. Maka
beruntunglah orang yang mendapat limpahan rahmat, memanen pahala yang
banyak, dan mendapat hujan ampunan pada bulan tersebut.
Bulan
Ramadhan adalah bulan shiyam, qiyam, dan tilawatul Qur'an. Ramadhan juga
dikenal sebagai bulan shadaqah, kebajikan, dilipat gandakan pahala,
dikabulkannya doa, bulan ampunan dan pembebasan dari neraka. Di bulan
tersebut dibukan pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka,
bahkan syetanpun dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ini, Allah Yang Maha
Pemurah berderma kepada para hamba-Nya dengan berbagai pemberian yang
banyak dan melebihkannya bagi para wali-Nya yang giat beribadah
kepada-Nya.
Kunci Shiyam dan Qiyam Ramadhan Berpahala Besar
Kunci
didapatkannya pahala besar dan ampunan saat menjalankan shiyam Ramadhan
dan qiyamnya dijelaskan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud Imanan wa Ihtisaban
Imanan wa Ihtisaban
menjadi syarat seorang muslim mendapat pahala dan keutamaan-keutamaan
yang dijanjikan, ampunan dosa dalam menjalankan puasa. Lalu apa maksud
dari dua kata yang menjadi syarat tersebut?
Menurut al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullah,
"Maksud iman di situ adalah keyakinan dengan kebenaran kewajiban puasa
padanya. Sedangkan ihtisab, meminta pahala dari Allah Ta'ala." Sementara
menurut Imam al-Khathabi rahimahullah: "Ihtisab maknanya
'azimah, yaitu dia berpuasa dengan berharap pahalanya dengan
memperhatikan kebaikan bagi dirinya tanpa memberatkan pada puasanya dan
tidak pula memperpanjang hari-harinya." (Fathul Baari: 6/138 dari
Maktabah Syamilah)
Menurut Imam Nawawi rahimahullah,
makna iman: membenarkan bahwa dia itu benar dan berharap keutamaannya.
Sedangkan makna Ihtisaban, dia berharap kepada Allah Ta'ala semata,
tidak berharap penilaian orang dan harapan-harapan lain yang menyalahi
ikhlas. (Syarh Nawawi 'ala Muslim, no. 1266)
Yang
pada ringkasnya, bahwa yang memotifasi dia untuk menjalankan puasa dan
qiyam Ramadhan adalah keimanannya kepada Allah, membenarkan
janji-janji-Nya dan berharap pahala dari Allah 'Azza wa Jalla semata.
Dan siapa yang menjalankan puasa Ramadhan dan qiyamnya sesuai dengan
ketentuannya, dia beriman kepada Allah dan kepada apa saja yang Allah
wajibkan baginya, di antaranya ibadah puasa; dan berharap pahala dan
ganjaran dari-Nya, maka ia diberi ampunan atas dosa-dosa yang telah
dikerjakannya.
Iman Sebagai Syarat Sah dan Diterimanya Amal Ibadah
Sebenarnya
bukan puasa saja yang akan sah dan diterima bila didasarkan pada iman.
Semua ibadah juga begitu, tidak sah dan diterima bila kehilangan iman.
Oleh sebab itu, penting sekali kita menjaga keimanan ini. Jangan sampai
ia rusak dengan kesyirikan dan kekufuran, karena keduanya akan
membatalkan seluruh amal ketaatan, di antaranya shiyam. Allah Ta'ala
berfirman,
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang
siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 97) Iman dan amal shalih dalam ayat
ini, menjadi syarat untuk diterimanya amal ibadah, yang karena itu akan
memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang lebih baik di
akhriat, yaitu surga.
Sedangkan dasar bahwa syirik adalah penghapus seluruh amal, adalah firman Allah Ta'ala:
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ بَلِ اللَّهَ
فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
"Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu,
maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk
orang-orang yang bersyukur".”(QS. az-Zumar: 65-66)
Allah Ta’ala berfirman tentang para nabi dan rasul-Nya,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88)
Sedangkan amal shalih orang yang tidak beriman, alias kafir, tidak akan pernah diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Ta’ala berfirman tentang amal baik mereka,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Hakikat Iman
Iman dalam term
ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah pembenaran dengan batin, ikrar dengan
lisan, dan pengamalan dengan anggota badan. Iman menurut paham yang
lurus ini, juga bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan kemaksiatan. Jadi perilaku seorang mukmin akan
mempengaruhi imannya.
Pada
prinsipnya, iman adalah membenarkan kabar berita dan tunduk kepada
syari'at. Karena itu, barangsiapa yang dalam hatinya tidak ada
pembenaran dan sikap tunduk, maka bukan sebagai seorang muslim.
Penyempurna
iman yang wajib adalah dengan melaksanakan perkara-perkara wajib dan
meninggalkan perkara-perkara haram. Sedangkan penyempurnanya yang
bersifat sunnah adalah dengan melaksanakan amalan-amalan sunnah dan
meninggalkan yang makruh serta menjaga diri dari yang syubhat.
Orang-orang
yang memisahkan amal dalam hakikat iman dan membatasinya pada
pembenaran saja, mereka itu orang yang batil (sesat). Sebabnya, karena
iman tidak akan terwujud dengan hanya meyakini kebenaran ajaran yang
disampaikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saja. Banyak
orang yang memiliki keyakinan seperti ini tapi tidak lantas menjadi
orang beriman. Terwujudnya iman harus terkumpul dua hal: keyakinan
terhadap kebenaran dan adanya kecintaan dan ketundukan dalam hati.
Allah Ta'ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir." (QS. Al Nisa': 59)
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa orang yang tidak mau mengembalikan urusannya
kepada Allah dan Rasul-Nya tidak termasuk orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir. Di dalamnya terdapat bukti jelas bahwa iman tidak
terakui hanya dengan membenarkan kabar berita saja. Iman bukan ucapan
semata, tapi harus disertai dengan ketundukan kepada syari'at dan
mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan menjalankan ketetapannya.
Allah Ta'ala berfirman
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. Al Nisa': 65)
Dalam
ayat di atas, Allah Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Mahamulia dan
Maha suci, bahwa seseorang tidaklah beriman sehingga dia menjadikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai hakim dalam
semua urusannya. Apa yang diputuskannya maka itulah kebenaran yang wajib
ditaati lahir dan batin. Hal ini juga menguatkan bahwa iman tidak tegak
hanya dengan membenarkan kabar berita semata, tapi harus juga dengan
menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai hakim dan tidak berberat hati (harus legowo) terhadap keputusannya. Kalau sudah seperti ini, maka tergaklah keimanan.
Bahkan
pada beberapa ayat sebelumnya, Allah membatalkan iman orang-orang
munafikin yang mengaku beriman kepada Al-Qur'an dan kitab-kitab yang
Allah turunkan sebelumnya, namun ia tidak mau tunduk kepada hukum-hukum
yang terkandang di dalamnya. Lebih parah lagi, saat diseru untuk
menjalankan syariat, mereka menjadi orang pertama yang menentangnya.
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu." (QS. Ali Imran: 60-61)
Dalam
ayat lain, Allah Ta'ala juga membatalkan iman mereka yang mengaku
beriman dengan lisannya kemudian perbuatannya menyalahi konsekuensi
ucapan mereka, yaitu mereka berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya.
وَيَقُولُونَ
آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ
مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
"Dan
mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami
menaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah
itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." (QS. Al Nuur: 47)
. . . Belum cukup juga hanya meyakini, satu-satunya agama dan syariat yang diridhai Allah hanyalah Islam. Tapi tidak mau menjadikannya sebagai aturan yang mengatur kehidupannya. . .
Dari
keterangan di atas, menunjukkan sangat jelas, bahwa belum cukup kita
hanya mengetahui dan mengakui Islam saja ajaran yang benar, sedangkan
selain Islam salah dan batil. Belum cukup juga hanya meyakini,
satu-satunya agama dan syariat yang diridhai Allah hanyalah Islam. Tapi
tidak mau menjadikannya sebagai aturan yang mengatur kehidupannya.
Allah T'ala berfirman tentang orang-orang Yahudi yang mengenal kebenaran Nabi Muhammad dan ajaran yang dibawanya,
الَّذِينَ
آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil)
mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan
sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 146)
Pengenalan
hati semata tidak dikatakan iman jika perkataan lisan dan perbuatan
menyelisihinya. Karenanya, para ulama ahli kitab dari kalangan Yahudi
mengenal kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, tapi mereka
menyembunyikan kebenaran tersebut dan menentangnya sehingga mereka
merugi di dunia dan akhirat. Semua itu menunjukkan bahwa ilmu
(pengetahuan) dan menyampaikan pengetahuan tersebut tidak menjadikan
seseorang beriman sehingga mengucapkan kalimat iman dengan bentuk
pernyataan untuk komitmen dan patuh.
Seandainya
iman hanya sekedar keyakinan dalam hati niscaya Iblis, Fir'aun beserta
kaumnya, dan orang-orang Yahudi yang mengenal Nabi Muhammad sebagaimana
mereka mengenal anak kandung mereka sendiri sebagai mukminin mushaddiqin
(orang-orang beriman yang membenarkan keimanan mereka). Mustahil, orang
berakal akan mengucapkan kalimat semacam ini.
Lebih dari itu, bila ada orang yang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
"Aku tahu engkau adalah benar, tapi aku tidak mau mengikutimu
sebaliknya aku akan memusuhimu, membencimu, dan menyalahi perintahmu,"
lalu dikatakan sebagai orang beriman yang sempurna imannya, karena sudah
mengikrarkan kebenaran dengan lisannya. Kalimat semacam ini tidak akan
pernah keluar dari mulut seseorang yang masih sehat akalnya.
. . . Seandainya iman hanya sekedar keyakinan dalam hati niscaya Iblis, Fir'aun beserta kaumnya, dan orang-orang Yahudi yang mengenal Nabi Muhammad sebagaimana mereka mengenal anak kandung mereka sendiri sebagai mukminin mushaddiqin . . .
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
"Setiap
umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan (tidak mau)? Para
sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapa orang yang enggan itu?" beliau
menjawab, "Siapa yang mentaatiku akan pasti masuk surga sedangkan orang
yang durhaka kepadaku benar-benar telah enggan (masuk surga)." (HR. Bukhari)
Maka siapa yang menolak untuk mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dan membelakangi petunjuk kebenaran yang beliau bawa, maka menjadi ahli
neraka, walau dia meyakini kebenaran risalah beliau dalam hatinya.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa takdzib
(mendustakan ayat-ayat Allah) dan sombong dengan tidak mau menerima
hukum-hukum-Nya termasuk bab kekufuran dan pembatal iman. Allah Ta'ala
berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ
لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ
الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
"Sesungguhnya
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri
terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu
langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang
jarum." (QS. Al A'raaf: 40)
. . . Barangsiapa yang menolak hukum Allah dan menolak untuk tunduk patuh terhadap risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (syariat Islam), maka sungguh telah batal imannya.Dan jika batal iman, maka tidak dianggap sah dan tidak akan diterima amal ibadah yang dikerjakannya, di antaranya shiyam Ramadhan.
Dan yang serupa dengan takdzib
adalah sikap menolak dan enggan melaksanakan perintah Allah dan tunduk
terhadap syariat-Nya. Barangsiapa yang menolak hukum Allah dan menolak
untuk tunduk patuh terhadap risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
(syariat Islam), maka sungguh telah batal imannya. Dia telah keluar
dari agama sebagaimana yang telah diterangkan dalam nash-nash yang telah
lalu. Dan jika batal iman, maka tidak dianggap sah dan tidak akan
diterima amal ibadah yang dikerjakannya, di antaranya shiyam Ramadhan.
Maka mari kita benahi iman sebelum tiba Ramadhan, dengan meyakini
kebenaran Islam semata dan kewajiban tunduk dan patuh kepada syariatnya.
Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sumber : Klik di sini
No comments:
Post a Comment