Zul, ketika bersantap di salah satu Depot di Kawasan Ina Hami atau yang sekarang dinamai Kompleks Pasar Tradisional Tente |
Woha, 20 November 2013
Pajangan nama Kompleks Pasar
Tradisonal pada lapak bangunan Pemerintah Kabupaten Bima di Desa Tente
Kecamatan Woha yang diresmikan baru-baru ini, menuai protes dari masyarakat.
Pasalnya, nama pasar tradisional berbanding terbalik dengan kondisi lapak dan
deretan dagangan yang dijajakan dalam kawasan yang disebut Ina Hami tersebut.
Sirajuddin alias Kolly, warga Desa
Tente Kecamatan Woha, melayangkan protes atas nama yang dipajang pemerintah tersebut.
Kata dia, ketika masuk ke dalam kompleks yang diberi label Pasar Tradisional,
kesannya malah seperti nongkrong dalam areal terminal. Sebaliknya, ketika
memasuki areal terminal seolah kesasar masuk ke dalam Kompleks Pasar
Tradisional.
Kolly yang kerap nongkrong di
tempat yang ia kenal dengan ‘Ina Hami’ tersebut merasa janggal jika tempat yang
notabene dibangun sebagai tempat tongkrongan oleh Pemda Bima tersebut diberi
label Pasar Tradisional. “Nama ini merusak suasana,” sesalnya sembari mendongak
mempelototi papan nama ‘Kompleks Pasar Tradisional Desa Tente Kecamatan Woha’.
Kolly berdalih, jika orang
mendengar nama Pasar Tradisional Desa Tente Kecamatan Woha, orang pasti akan
membayangkan pasar tersebut menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan
makanan pokok atau ikan, buah, sayur-sayuran, telur, atau daging yang digelar
tumpah di tempat terbuka, kadang dibuatkan tenda atau gerai.
“Bukan hanya saya yang merasa
janggal dengan nama itu, tapi rata-rata teman lain juga sama. Harusnya kalau
diprioritaskan sebagai tempat tongkrongan, carilah nama yang lebih keren” ketus
Kolly.
Drs. Dahlan, Camat Woha membenarkan
bahwa ‘Kompleks Pasar Tradisional Tente’ diprioritaskan sebagai tempat
tongkrongan, karena hematnya dalam klausal usaha tidak dibenarkan untuk menjual
sembako, ikan dan sayur mayur. Kata Dahlan, kompleks dimaksud masih dalam tahap
pengembangan.
“Pemda melarang para pedagang
kompleks utnuk membangun tenda di depan depotnya secara manual (swadana, Red),
karena nanti Pemda akan membangunkan tenda di depan masing-masing depot sebagai
tempat lesehan” Terang Dahlan.
Diakui Dahlan, nama itu memang
sedikit mengganjal tapi bukanlah masalah yang serius, “Apalah artinya sebuah
nama” Tanggap Dahlan retoris. Menurut Dahlan nama ‘Pasar Tradisional’ itu
tidaklah benar dikatakan melenceng, ia mencontohkan di Kota-Kota besar masih
banyak Pasar Tradisional sejenis. Tapi bagi Kolly lain lagi, nama dalam konteks
pemasaran modern adalah bagian dari nilai tawar dan ia berharap agar Pemda bisa
mempertimbangkan ulang penamaan kompleks tersebut. [Mus dan Zul]
No comments:
Post a Comment