Desa Aikperapa, kecamatan Aikmel, kabupaten Lombok Timur terletak di
kaki Gunung Rinjani. Untuk mencapai desa tersebut dari Bandara Lombok
Praya, kita harus berkendara selama lebih kurang dua jam. Persisnya,
Desa Aikperapa ini terletak di 80 kilometer arah timur dari kota
Mataram.
Umumnya, sumber penghidupan mayoritas masyarakat Aikperapa adalah
bertani. Namun, karena desa ini tergolong daerah yang sulit air, maka
mereka hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun, yaitu pada saat
musim penghujan saja. Selebihnya, mereka mencari kayu bakar di hutan
untuk dijual ke pabrik tembakau. “Dulu, masyarakat di sini 95% melakukan
illegal logging. Namun setelah ada pembinaan dari Dinas
Kehutanan, alhamdulillah tidak ada lagi yang ke hutan mencari kayu
bakar,” kata Syaiful Yasin, Wakil Ketua Pondok Pesantren Riyadul Falah.
Generasi mudanya lebih memilih keluar dari kampung halaman mereka
dan pergi mencari pekerjaan ke luar negeri. Ketika pulang kampung,
mereka bisa membangun rumah berdinding batu bata. “Rumah-rumah di sini
yang pakai batu bata biasanya rumah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Rumah
bata yang dibangun bukan dari hasil TKI bisa dihitung dengan jari,”
ujar Syaiful.
Di desa Aikperapa ini tak ada pasar. Untuk belanja kebutuhan
sehari-hari, mereka harus pergi ke Aikmel, ibukota kecamatan yang
jaraknya 7 kilometer. Hanya ada satu dua yang berdagang kelontong di
desa tersebut. Begitu juga dengan bahan bakar minyak. Hanya ada satu
penjual bensin eceran yang menaruh dagangannya di botol-botol.
Sebelum tahun 2004, hanya ada satu sekolahan, yaitu SD. Umumnya,
orangtua enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Maka, begitu tamat SD,
anak-anak biasanya disuruh membantu orangtua bekerja di ladang.
“Kebanyakan anak-anak perempuan selesai SD disuruh kerja dua tahun di
ladang, lalu dikirim sama orangtuanya ke Malaysia,” ungkap Marwan Hakim
prihatin.
Marwan Hakim (35) adalah ustadz sekaligus tokoh pendidikan di Desa
Aikperapa. Meskipun disegani, namun penampilan Marwan sangat bersahaja.
Tak ada topi putih yang menjadi atribut dan menandakan bahwa dia
seorang ustadz. Tak jarang orang di luar Desa Aikperapa menganggapnya
sebagai tukang ojek. Ia pun tak marah, malah ketawa saja. “Ya kita kan
ingin dekat dengan masyarakat,” katanya.
Marwan mempelopori pendirian SMP dan SMA di Aikperapa. Namun,
perjuangannya tak mudah, mengingat sekolah tidak dianggap penting bagi
kebanyakan masyarakat desa Aikperapa. “Orangtua di sini kalau anaknya
sudah tamat SD rata-rata gembira dia karena ada yang membantu bekerja
di ladang. Bahasanya itu bukan anak saya lulus, tapi anak saya sudah
lepas dari sekolah! Seolah-olah sekolah adalah penjara,” ungkap Marwan.
Inilah tantangan Marwan. Tidak mudah mengubah paradigma masyarakat. Ia pun memulai perjuangannya dengan pendekatan persuasif. Anak-anak diajaknya mengaji pada waktu sore hari. “Filosofinya, ibarat menangkap ayam, anaknya dulu kita tangkap, otomatis induknya akan mengikuti,” tutur Marwan.
Hal ini dilakukannya sejak tahun 2002. Pada saat mengaji itulah
Marwan menyemangati anak-anak agar giat belajar. Mengaji saja tak
cukup, tetapi orang harus pintar supaya bisa bekerja lebih baik dan
kehidupannya lebih sejahtera. Begitulah kata-kata yang sering diucapkan
Marwan.
Dua tahun kemudian (2004), kata-kata semangat belajar itu pun
mewujud. Marwan sendiri tak menyangka bahwa kata-katanya bisa
mengobarkan semangat belajar anak-anak. Hingga suatu ketika, ada 11
murid mengajinya tiba-tiba datang kepadanya sudah mengenakan baju
seragam. “Pak, ayo kita sekolah!” kata Marwan menirukan ucapan
anak-anak.
Marwan terhenyak, bingung. Bagaimana ini? Ia tak punya guru, tak
punya kelas yang layak. Namun, Marwan juga tak ingin memadamkan
semangat anak-anak itu. Maka dengan fasilitas seadanya, Marwan berusaha
mendatangkan guru. Maka, didirikanlah SMP di rumahnya. Itulah SMP
pertama di desa Aikperapa.
Di mata Syaiful, Marwan adalah tokoh yang unik. Bisa diibaratkan,
Marwan adalah tumpuan harapan bagi masyarakat desa Aikperapa. Selain
mendirikan SMP dan SMA, Marwan juga rajin silaturahmi dengan dunia
luar, terutama pejabat yang berwenang di kabupaten.
Ketika malam tiba, Desa Aikperapa gelap gulita. “Di sini listrik baru masuk dua tahun yang lalu. Itu juga hasil perjuangan Ustadz Marwan,” ujar Syaiful.
Marwan sendiri mengaku kecewa dengan keadaan keluarganya. Ibunya
meninggal ketika Marwan naik ke kelas 3 SMP, lalu ayahnya menikah lagi.
Karena tiadanya biaya, Marwan tak sempat menamatkan pendidikannya di
SMIK (Sekolah Menengah Industri Kayu) di Mataram. “Saya drop out, tapi akhirnya tahun 2005 saya bisa mengikuti ujian persamaan,” jelasnya.
Untuk bisa bersekolah di kota, Marwan mondok di Pondok Pesantren Darul Falah, Mataram. Namun, karena pondok itu tidak menyelenggarkan pendidikan umum, maka ia sekolah di luar yang jaraknya 2 kilometer. Saban hari, Marwan jalan kaki ke sekolah.
Marwan adalah anak pertama dari 11 bersaudara. Saudara kandungnya
ada 3 dan saudara tirinya 7. Latar belakang itulah yang mendorong
Marwan ingin memajukan desanya melalui pendidikan. Ia mengajak
teman-temannya di ibukota kecamatan untuk ikut berjuang mendirikan
sekolah di desanya. Maklum, desa yang berpenduduk 4.100 jiwa ini hanya
memiliki satu orang sarjana.
Kini, hasil perjuangan Marwan dan teman-temannya tak sia-sia.
Sekolah yang didirikannya tahun 2004 itu sudah meluluskan 200 orang
tamat SMP dan 50 orang tamat SMA.
Perjuangan Marwan dan kawan-kawan tak berhenti sampai di situ. Mereka terus mengobarkan semangat belajar hingga ke dusun lain. Salah satunya adalah di dusun Bornong, desa tertinggi di kaki Gunung Rinjani. “100 meter dari sini ke utara sudah masuk kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR),” ujar Ama Ahmad (50), ketua RT 06 dusun Bornong, Desa Aikperapa.
Menurut Ahmad, masyarakat di Bornong lah yang meminta Ustadz Marwan
agar membuka sekolah di dusunnya. “Karena di sini belum ada sekolahan,”
katanya.
Anak-anak yang bersekolah di Bornong, tampak bersemangat sekali
mengikuti pelajaran. Mereka belum punya kelas yang layak. Kegiatan
belajar mengajar itu dilakukan secara lesehan di sebuah rumah yang
dipinjam dari warga setempat. Lonceng tanda pelajaran selesai juga
terbuat dari piring kaleng bekas yang sudah karatan. Di tengah suasana
amat terbatas itu, anak-anak bersuara keras menghafal Pancasila,
menirukan ucapan guru mereka.
Sementara itu Musfet (30), Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Riyadul
Falah mengungkapkan, ia terharu sekaligus malu dengan perjuangan yang
dilakukan Marwan. Musfet sendiri adalah lulusan Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia merasa malu karena pendidikannya
lebih tinggi dibanding Marwan, tetapi semangat berbagi ilmu tak sehebat
Marwan. “Saya terharu dengan perjuangannya yang tak kenal lelah.
Makanya saya mau membantu walaupun gajinya tak seberapa,” ujarnya.
Cara Marwan mengelola sekolah, menurut Musfet cukup bijak dan
benar-benar amanah. Pihak sekolah tidak akan memaksa orangtua murid
harus membayar dengan uang tunai. Jika orangtua tidak mampu membayar
dengan uang, maka dia boleh menukarnya secara in natura. Misalnya, biaya administrasi sekolah dapat dibayar dengan tanaman pisang.
Sumber : Klik Di Sini
No comments:
Post a Comment