Kupasan yang termuat dalam tulisan ini hanya kisah
biasa dalam keseharian saya. Namun dari kisah yang dilewatkan, menggelitik
sekaligus menggoda jari-jari saya untuk meraba keyboard laptop usang saya
miliki, sehingga menjadi kata dan rangkaian kalimat yang mungkin layak untuk
disaji. Berikut catatan kisahnya.....
Bermula ketika Ibu saya meminta untuk diantarkan
buah-buahan ke rumah seorang kakak saya, Ibrahim, M.Nur yang dikhabarkan
terserang flu dan demam. Ketika sampai di rumahnya, alih-alih melihat kakak
saya itu berbaring lesu di pembaringan ia malah saya temui sedang
terbahak-bahak mencandai si Putri, anak bungsunya yang tampak riang dibuatnya.
Sayapun dibawa ngobrol ke ruang tamu. Obrol punya
obrol, ada satu hal menarik menurut saya perlu dirangkum menjadi sebuah
tulisan. Yaitu tentang lamunannya tempo hari ketika ia terbawa suasana ‘sepi’
sendirian duduk menggelepok di beranda mesjid ba’da Maghrib.
Kepada saya, ia cerita membayang-khayalkan tentang
masjid yang ada ‘mengepulkan asap’ dari dapurnya. Sementara di beranda Mesjid
yang kini rata-rata berubin keramik, ramai warga duduk berkerumun bersamanya
dalam suasana santai dan tertib melepas letih-lelah, penat dan mungkin jenuhnya
ketika menggeluti aktivitas dalam profesi kesehariannya.
Semakin manis ketika ia membayangkan bahwa,
Sembari menunggu suguhan seadanya dari dapur masjid. Kumpulan warga di beranda masjid tersebut
saling sharing tentang apa saja. Mungkin ada sebagian dari mereka
mengeluhkan masalah-masalah yang mereka hadapi sementara sebagian lain
menanggapinya dengan simpatik atau bisa saja ada yang mencoba melontarkan
gagasan solusi dan bantuan riel bagi permasalahan rekan warganya.
Atau ada sebagian dari mereka yang mungkin peka,
lantas mengesalkan atau menyesalkan
fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya, sementara ada sebagian lain yang
diilhami ide kreatif untuk memberantas penyakit social tersebut.
Lantas khayalnya, kumpulan warga yang sedang asyik
sharing tersebut semakin berseri-seri manakala dari arah dapur masjid
mendekatlah beberapa orang (laki-laki) yang memang mendapat giliran tugas
melayani. Datang dengan rona ikhlas membawa nampan berisi kopi dan atau teh,
serta jajanan (jika mungkin). Lalu sambil menikmati suguhan tersebut mereka
kembali lanjut saling sharing atau diisi dengan kegiatan lain, andai telah
direncanakan sebelumnya sampai tibanya sholat Isya’ berjamaah.
Ia membayangkan betapa ceria dan amannya perasaan
warga ketika berada dalam jalinan silaturrahmi yang santun, hangat, dan akrab
seperti itu. Dan ketika akan pulang ke rumahnya masing-masing, Ibrahim meyakini
akan ada banyak makna dan nilai yang dapat mereka gunakan sebagai bahan
renungan dan bahan cerita buat keluarganya masing-masing. Demikian Ibrahim
mengakhiri cerita tentang apa yang dilamunkannya waktu itu.
Sementara saya sendiri ketika bertolak dari
rumahnya membawa pulang lamunan lain. Saya membayangkan seandainya saja ada
banyak orang memiliki lamunan yang sama dengan Ibrahim. Maka pasti lamunan itu
bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Atau Bisa jadi benar-benar ada banyak
lamunan yang sama di luar sana, hanya saja mungkin mereka anggap itu hanyalah
lamunannya seorang sehingga sulit terwujud sampai pada akhirnya menjadi lamunan
yang tidak penting lagi. Maka itu masuk akal jika tulisan ini saya lamunkan
bisa mengkhabarkan dan lalu menyatukan lamunan yang sama.
Ibrahim menyesalkan betapa mesjid kita telah
banyak kehilangan fungsinya. Teristimewa fungsi sosialnya, terlepas dari
manusia sebagai makhluk yang beragama. Bahwa masjid kita tidak lagi menyentuh
dan kehilangannya banyak manfaatnya bagi manusia sebagai makhluk social. Maka
tidak heran betapapun masjid dibangun semegah-indahnya tetap saja isinya tidak
banyak bertambah. Karena secara social memang kurang menarik. Intinya masjid
harus memiliki daya tarik secara sosial
Saya teringat dengan seorang warga yang dikenal
kocak, namanya Abdurrahman. Tidak biasanya dia berdiri menekur dada di pinggir
jalan bersama gerombolan pemuda lainnya saat adzan dilantunkan. Saya sapa dia
dan menyatakan heran kenapa dia tidak segera ke masjid. Dengan lugas dia bilang
malas ke masjid karena isinya orang itu-itu saja, tidak ada yang baru. Lantas
ditanggap tawa oleh teman-temannya yang lain.
Ibrahim mungkin mewakili banyak orang yang merasa
ngeri namun hanya bisa menahan geram melihat dinamika dan pola hidup yang
kekinian. Kalau dulu, mungkin cerita tentang kriminalitas dan keji asusila
hanya ada kita tonton-dengar dengan risih dan muka yang kemerah-merahan karena
rasa malu di Televisi Nasional. Mengabarkan kejadian nun jauh di kota-kota
besar sana. Tapi sekarang menurut hematnya cerita yang mirip bukan lagi warta
eksklusif di Televisi tapi sudah menjadi fakta umum yang detil terpampang di
depan mata. Layaknya barang mewah yang dulu hanya ada dipajang di rak kaca
super market, sekarang sudah banyak dijajakan dalam bakulan pedagang di
pasar-pasar tradisional.
Sederhana menurut Ibrahim jika ingin mewujudkan
fungsi social masjid. Bisa dimulai dengan langkah kecil dengan diadakannya
‘Momen Khidmat Mesjid’ sebagaimana yang ia lamunkan. Tidak perlu tiap hari tapi
bisa sekali seminggu. dengan tekhnis pelaksanaan yang disepakati. Sehingga diharapkan mampu menarik minat warga
untuk datang bertamu di rumahnya-Nya. Beribadah secara vertical dan menjalin
kebersamaan secara horizontal.
Logika yang sederhana menurut Ibrahim, Petani yang
paling bodoh sekalipun tau jikalau kita ingin menumbuh-kembangkan sesuatu maka
pertama kali kita harus menciptakan iklim pendukungnya. Maka menurutnya momen
khidmat masjid adalah salah satu upaya untuk menciptakan suasana agama. Dimana
ada sekelompok warga sembari menikmati suguhan, mempertontonkan kebersamaannya
dan memperlihatkan kerukunannya, serta memamerkan betapa betahnya mereka berada
di mesjid kepada warga lain. Maka perlahan tapi pasti Mesjid akan menjadi Tempat
jamuan rohani yang kembali ramai.
Momen khidmat masjid ini lanjutnya adalah upaya
mendekatkan warga dengan masjid melalui sentuhan jasmaninya, maka selanjutnya
Allah yang akan melakukan sentuhan terhadap rohaninya. Akan tetap menjadi omong
kosong yang paling lantang kalau ingin mendekatkan suatu umat kepada agamanya
tanpa adanya upaya mendekatkan umat itu sendiri dengan tempat ibadahnya.
Sebenarnya saya ingin langsung mengakhiri tulisan
ini sampai di sini, tetapi saya tidak mampu menahannya. Saya terus tergelitik
untuk menulis tentang lamunan terakhir,
seandainya saja Pemerintah Daerah Kabupaten Bima mempunyai lamunan yang
sama dengan Ibrahim. Karena sudah saatnya Program Jum’at Khusyu memiliki
‘pendamping hidup’nya setelah sekian lama jalan sendiri tanpa program pendukung
lain yang sejenis dan berkesinambungan. Tidak adil bermuka masam
mengkhawatirkan masalah dana. Yang penting kita melamunkannya bersama terlebih
dulu dan siapa yang butuh dana untuk berlamun! [Mus]
No comments:
Post a Comment