Ilustrasi |
Mendongeng
sudah tidak lagi menjadi bagian dari budaya mendidik kita. Ledakan teknologi
terutama di dunia hiburan dan gencarnya produk konsol game modern yang telah
sampai ke pelosok-pelosok desa, diduga punya andil besar terhadap hilangnya budaya
mendongeng yang hingga era 90-an pernah menjadi tradisi di Bima, sampai lambat
laun seperti sekarang ini dongeng seolah punah dari kehidupan masyarakat. Bisa
jadi di daerah lain di Indonesia, mendongeng telah lama dijadikan sebagai bantal
TV.
Di
Bima sendiri, Mpama (Baca : dongeng) dulunya
tidak hanya disifati sebagai alat untuk menghibur semata. Lebih dari itu, Mpama merupakan bagian dari romantisme
pendidikan (Baca : Pendidikan rumah tangga) yang sangat efektif. Di kampung
penulis sendiri kala itu sempat ada semacam pameo yang dalam Bahasa Indonesianya
kira-kira berarti ‘Kalau ingin menikah, belajarlah mendongeng terlebih dahulu’.
Pameo yang mengindikasikan betapa besarnya peranan Mpama ini dalam kehidupan keluarga dan betapa anak-anak
menggemarinya. Sampai seolah-olah dijadikan ukuran dari kemampuan membina rumah
tangga. Dan itu ada benarnya juga waktu itu.
Tak
perlu dalam kita membedah sampai kepada pengaruh mendongeng terhadap
perkembangan sikap dan psikologi anak. Semua orang juga tahu kalau dongeng
sarat akan makna dan pesan. Yang menarik adalah, orang-orang tua kita di Bima
dulu sepertinya tau betul bahwa Mpama
dapat membangun kedekatan emosional antara mereka dengan anak-anaknya.
Ambil
contoh Bunyamin (38 Tahun), kepada penulis bercerita dulunya sewaktu kanak-kanak
dia bersama adik perempuannya lebih senang menginap di rumah kakeknya hanya
karena kakeknya itu pintar mendongeng. Sementara, Ibrahim (40 Tahun, kakak
Penulis) sebagaimana dikenang oleh Ibu penulis. Sesekali dulunya jika Ibrahim
terbangun di tengah malam, maka dia tidak akan mau tidur kembali jika belum
mendengarkan dongeng. Pernah ibu kami mencoba mendongenginya, tapi saat seperti
itu Ibrahim hanya dan hanya akan tidur jika didongengi oleh Nenek kami (almarhummah)
yang memang pintar mendongeng. Maka terpaksa Bapak kami kala itu pergi
‘memboyong’ nenek malam-malam ke rumah untuk mengantarnya kembali tidur. Tidak
sedikit pula orang tua tempo dulu yang mengaku kalau anak-anaknya rewel dan
menangis karena sesuatu hal maka dia akan membujuk anak-anaknya dengan Mpama.
Dan itu sering berhasil katanya.
Maka
tidak heran jika di Bima dulunya pernah ramai pendongeng dan ada yang
menjadikannya sebagai ‘profesi’ di usia senja. Sekelumit contoh mungkin, Penulis
masih ingat dulunya di Tahun 80-an waktu duduk di bangku SD, selepas sekolah
dan mengerjakan PR biasanya bersama teman-teman sebaya berombongan mendatangi
tukang dongeng. Terkadang kami tidak makan siang di rumah, tapi membawa ‘jatah’
makan siang dari rumah masing-masing dan kemudian membagi jatah tersebut kepada
Dua Eno (nama Tukang Dongeng) untuk disantap bersamanya. Dua Eno (Almarhum) ini
tidak akan pernah mau mendongeng sebelum kami memberinya sesuatu. Sesuatu itu
bisa berbentuk uang, beras, gula, kopi, kertas rokok, tembakau, dan bisa juga
dengan berbagi makan siang seperti contoh di atas. Semakin banyak kami
memberinya sesuatu maka akan semakin lama durasi waktu mendongengnya. Penulis
yakin di tempat lain di Bima pasti ada banyak ‘Dua Eno’ yang lainnya dulu.
Tapi
sekarang menurut hemat penulis, secara keseluruhan tradisi ‘Mpama’ di Bima sudah
menjadi ‘Mpemo’. Dengan kata lain, mendongeng telah menjadi bagian dari dongeng
itu sendiri. [Mus]
No comments:
Post a Comment