Bintara Pembina Desa (Babinsa) Desa Cenggu ini adalah
seorang Muallaf. Ia baru masuk Islam pada Oktober 2013 lalu. Sejak saat itu,
ayah satu orang anak ini dikenal sebagai muslim yang taat beribadah dan rajin
ke masjid. Warga di Dusun tani mulya tempat ia bermukim, mengenalnya sebagai
sosok yang familiar, mudah akrab dan punya rasa sosial tinggi.
Sejak pindah dinas dari Irian Jaya ke Bima setahun lalu, jarang
sekali ia alpa untuk terlibat dalam setiap hajatan sosial di lingkungannya
tinggal. Bahkan jauh sebelum menjadi muslim, ia kerap ikut hadir pada setiap
acara taujiah warga yang meninggal. “Pak Gusti punya ‘bakat’ muslim” kata warga
Tani Mulya kala itu tentangnya.
Nama lahirnya adalah Gusti Bagus Uliantara dan sekarang
dikenal dengan nama Muhammad Agus, akrab dipanggil Pak Agus. Pria kelahiran
Singaraja Bali pada 37 tahun silam ini menuturkan pengalamannya membantu warga
Cenggu yang sekarang masih dalam kemelut konflik berkepanjangan dengan desa
tetangganya tersebut. Berikut adalah penuturannya.
Sebagai akibat dari konflik, hingga kini warga Desa Cenggu
belum berani untuk memasuki wilayah Desa Tente yang merupakan pusat perdagangan
dan penyedia layanan jasa publik. Sehingga kalau ada warga Cenggu yang masih
punya sedikit keberanian dan mempunyai keperluan mendesak terhadap barang dan
jasa, Pak Agus biasanya dimintai tolong sebagai ‘Pengawal’ mereka. Dan Pak Agus
sendiri merasa tidak tega untuk memenuhi permintaan warga tersebut.
“Sehari kadang lebih dari sekali dimintai tolong. Padahal
tugas pokok saya tidak sampai sejauh itu. Membonceng mereka ke Pasar dan Toko
di Tente dan menemani mereka belanja.” Katanya sambil tertawa ringan. Syukurnya,
selama ia melakukan ‘Tugas Pengawalan’ tersebut, ia tidak pernah menemukan
kendala di jalan.
Yang berat menurutnya adalah jika ada warga yang sama sekali
tidak berani masuk Tente. Maka ia biasanya menjadi ‘Kurir’ bagi mereka. Ia mengenang
pernah suatu hari dia terpaksa mendatangi Kantor Pegadaian Tente untuk menggadaikan
perhiasan milik salah seorang warga. Seumur hidupnya ia sendiri tidak pernah menggadaikan
sesuatu. Apalagi jika ia membayangkan dirinya dengan Pakaian Dinas harus berada
dalam antrian menuju meja Petugas Penaksir barang.
“Apa kata orang, melihat Tentara dengan Pakaian Dinas datang
menggadaikan sesuatu. Saya pribadi juga grogi apalagi jika menyangkut nama baik
Tentara. Saya sampai keringatan berada dalam ruang pegadaian, padahal ruangan itu
ber-AC,” kenangnya.
Tak sampai lama katanya ia duduk dalam ruang pegadaian, ia lantas
pulang ke rumahnya untuk mengganti baju dinasnya menjadi pakaian biasa. Dengan begitu,
ia pikir tidak akan grogi lagi ikut mengantri. Tapi apa lacur, sesampainya
kembali ke ruang pegadaian, ia tetap merasa grogi. Jadinya terpaksa ia menyuruh
Satpam Pegadaian untuk mewakilinya menggadaikan perhiasan yang ia bawa. Hasilnya,
warga pemilik perhiasan menyambutnya penuh syukur dan rasa terima kasih ketika
ia menyerahkan uang gadai tersebut.
Meski dibebani dengan ‘Tugas Tambahan’ oleh Warga Cenggu,
Pak Agus merasa lega bisa membantu sesama, lepas dari dirinya sebagai seorang
Babinsa. Karena ia yakin, jika ia melakukan sesuatu kebaikan maka akan dibalas
dengan kebaikan pula. Tinggal menunggu saja, balasan kebaikan itu datangnya
dari siapa, kapan, dan dalam bentuk apa. [Adn]
No comments:
Post a Comment