Oleh : Mustamin
Terhitung 14 Tahun
sudah era reformasi sejak digulirkan pertengahan Tahun 1998 lalu, Rakyat
Indonesia menggunakan hak pilih secara langsung baik dalam pemilihan presiden
maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), setelah 35 tahun masa orde baru
(orba) rakyat ‘menitipkan’ suaranya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai
kemudian amanat itu dicabut. Tidak bisa dipungkiri pencabutan hak pilih atas
DPR ini semata-mata merupakan manivestasi dari runtuhnya kredibilitas DPR di
mata rakyat (pada saat itu).
Yang menjadi pertanyaan adalah. Pertama, siapa yang
memilih DPR kala itu? Toh DPR adalah
produk langsung dari rakyat sebagaimana halnya di era reformasi sekarang, yang
membedakan hanyalah proses pemilihannya dilangsungkan dalam system multi-partai
(di mana sebenarnya kita malah merujuk mundur untuk kembali mengadopsi system orde lama yang
nota bene system politiknya sangat tidak stabil). Artinya di sini DPR adalah
‘buah tangan’ dari rakyat dan manakala ‘buah tangan’nya itu tidak amanah, maka
siapakah yang harus disalahkan? Logika penulis cenderung menyalahkan rakyat itu
sendiri yang tidak amanah terhadap ilmu, nurani, nilai-nilai dan etika sebagai
pemilih.
Pertanyaan kedua, apakah dengan pemilihan langsung atas
presiden dan kepala daerah dalam era reformasi seperti sekarang ini, rakyat
Indonesia menjadi lebih sejahtera dibandingkan dengan era-era sebelum
reformasi? (Sejahtera sebagaimana didefinisikan oleh Menkokesra - www.menkokesra.go.id - yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar
tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan
yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta
terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa). Berdasarkan
hasil survey dari Lembaga Survey Indonesia dan Indo Barometer serta beberapa
lembaga lain kesimpulannya sangat tegas yaitu Tidak Lebih Baik malah cenderung
lebih buruk. Artinya, jika Presiden dan Kepala Daerah yang juga merupakan ‘buah
tangan’ rakyat ini tidak mampu mengelola kekuasaannya secara beradab, maka penulis
tidak mampu menemukan ‘kambing hitam’ selain lagi-lagi harus menyalahkan rakyat
(tentu saja terlepas dari dialek mayoritas dan minoritas).
Tulisan
ini bukan bermaksud untuk mengapikan titik didih perdebatan ‘pemilihan langsung
Vs pemilihan tidak langsung’ dan ‘Orla/Orba Vs Reformasi’, juga untuk sementara
kita acuhkan polemik
tentang mana yang lebih penting antara proses pemilihan dan produk dari
pemilihan karena satu hal yang pasti adalah dalam tiga era politik yang dilalui
oleh negeri ini dalam beragam liuk alur prosesnya, semua berlandaskan atas
pilar yang sama, yaitu Demokrasi. Di mana system pemerintahannya dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat - Begitulah pemahaman sederhana yang diketahui
oleh hampir semua orang - Untuk itu
tulisan ini akan difokuskan pada gambaran pemilukada dan membangun kesadaran serta
kecerdasan politik rakyat, karena rakyat adalah anak kunci bagi Demokrasi untuk
membuka gembok kesejahteraan.
Sungguh era kenabian itu sudah diangkat, maka harapan
untuk mendapatkan pemimpin yang baik turun dari langit tidaklah memungkinkan
lagi. Maha Suci Tuhan - yang terlepas dari konsep demokrasi yang negara kita
anut ini - seolah-olah Tuhanpun ‘lepas tangan’ dalam demokrasi ini dan semuanya
diserahkan sepenuh-penuhnya di tangan rakyat, maka baik buruknya seorang
pemimpin tergantung sungguh pada baik buruknya sudut pandang rakyat dalam
memilih. Ini bukan sekedar ‘hukum karma’ tapi harus lebih dipahami sebagai
sebuah ‘konsekuensi’. Baiklah, ada
baiknya kita mengulas lagi tentang kriteria-kriteria utama yang harusnya ada dimiliki
oleh seorang pemimpin.
Dari sekian banyak rujukan tentang teori kepemimpinan
(leadership) yang pernah penulis baca, maka penulis menyimpulkan bahwa ada 3
kriteria utama yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin yang baik, yaitu
memiliki, pertama: Kecerdasan
intelegensi atau IQ (Intellegence Quotients) yang merupakan kecerdasan manusia
dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan
masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya.
Kedua, Kecerdasan Emosional atau EQ
(Emotional Quotients) berupa kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat, dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi,
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin
diri dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, Kecerdasan Spiritual atau SQ
(Spiritual Quotients) berupa kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang
membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai.
Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk
memiliki nilai-nilai itu sendiri. kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
berasal dari dalam hati, menjadikan kita kreatif ketika kita dihadapkan pada
masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya, serta
menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati.
Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai
ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya.
Dari ketiga kecerdasan (selanjutnya akan disebut IESQ)
itulah wujudnya pemimpin yang berjiwa leadership, bijaksana, berakhlak mulia
dan bertanggung jawab sebagaimana yang kita impikan selama ini. Masalahnya
adalah bagaimana cara mendapatkan pemimpin yang seperti itu? Konsepnya
sederhana sebenarnya menurut penulis yaitu kembali pada makna demokrasi, dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka untuk mendapatkan pemimpin impian tersebut,
terlebih dahulu rakyat itu sendiri harus membekali diri dan megutamakan
kecerdasan IESQ dalam memilih pemimpin. Selama ini kelemahan terbesar kita
adalah terlalu fokus membahas kemampuan calon pemimpin sehingga melupakan bekal
rakyat sebagai calon pemilih. Pemimpin yang memiliki kecerdasan IESQ hanya akan
wujud dari rakyat yang membekali dan menggunakan hak pilihnya dengan
berdasarkan atas kecerdasan IESQ pula. Itu adalah hukum alam (kodrat) sebagaimana
layaknya keledai hanya dan hanya akan beranak keledai.
Ada satu fenomena menarik dimana kandidat dalam
pemilukada umumnya berasal dari birokrat, pengusaha, dan politisi (Anggota
Dewan). Sekedar contoh coba kita bandingkangkan dengan Tokoh Agama. Tokoh Agama
yang sudah terbiasa menggetarkan mimbar di depan umatnya seolah-olah menjadi
figur yang hilang dalam bursa pencalonan oleh parpol pengusung. Suka atau tidak
suka ada dua titik persamaan pokok yang nampak dari birokrat, pengusaha dan
politisi tersebut yang membedakannya dengan tokoh agama yaitu pertama mereka
berduit dan kedua mereka lebih konsumtif (popular) bagi konstituen. Artinya
uang dan popularitas adalah ‘barang’ tawaran yang paling layak jual dalam pagelaran
pemilukada, karena memang konstituen menuntut ‘barang’ yang sama untuk dibarter
dengan hak suara semata wayangnya. Sehingga pemilukada layaknya ‘pasar raya’
yang digelar sekali dalam lima tahun dimana hukum permintaan dan penawaran
berlaku sempurna plus berbagai diskon ‘harga diri’nya. Dan rakyat lah yang
membuat iklim ‘pasar raya’ tersebut, memangnya siapa lagi? Para calon hanya
memanfaatkan peluang yang diciptakan sendiri oleh konstituennya.
Hubungannya dengan IESQ, bahwa dalam perspektif IESQ ada tiga instrumen yang biasanya
melandasi pemilih dalam menentukan pilihannya, yaitu : instrumen fisik, emosi
dan spiritual. Dari segi instrument fisik, fenomena di atas menggambarkan
betapa matre dan mata duitan sebenarnya kita sebagai pemilih ini. Kebutuhan dana
politik yang besar bagi para calon sangat erat kaitannya dengan sifat matre dari konstituen. Karena pilihan kita
dilandasi oleh keuntungan fisik material yang bisa didapatkan baik itu berupa
uang, sandang, pangan maupun kontrak politik tertentu lainnya. Maka tidak heran
jika menghasilkan pemimpin yang matre dan
mata duitan (tidak harus berarti
korup). Hal itu tidak akan terjadi sebenarnya seandainya kita lebih mengedepankan
nalarisasi betapa uang atau apapun bentuk material yang ditawar janjikan itu
tidak ada nilainya dibandingkan dengan apa yang seharusnya bisa kita dapatkan
selama lima tahun ke depan di bawah kepemimpinan seorang yang ideal.
Kedua, instrumen emosi yaitu ketika kita sebagai pemilih
melandaskan pilihan berdasarkan faktor emosional semata dan hanya ikut-ikutan tanpa
menimbang-nimbang kemampuan calon. Misalnya karena adanya hubungan
persahabatan, keluarga, atau solidaritas suku dan wilayah. Jika kita memliki
kecerdasan emosional pasti akan mengabaikan emosi pribadi dan rela menjadi
‘raja tega’ siap dihujat dan dijauhi sahabat dan keluarga akibat menjaga
komitmennya. Karena pilihan yang dilandasi oleh emosi pribadi hanya akan
menghasilkan pemimpin yang tidak becus menjalankan roda kekuasaannya. Fenomena
di atas juga memberikan gambaran betapa taklid butanya rakyat sebagai pemilih
itu, kalau tidak taklid buta dan ikut-ikutan maka popularitas calon tidak akan
laris dijajakan. Dan manakala pilihan kita semata dilandasi oleh popularitas
maka lihat saja pemimpin yang dihasilkan tidak lebih hanyalah ahli retorika
yang hanya pandai berbicara dan kerap mengulang-ulang kata yang sama yaitu
“Saya janji… Saya Janji… Saya janji”.
Terakhir adalah instrument spiritual (ini adalah
instrument yang paling penting) yaitu ketika kita memilih karena dilandasi oleh ketertarikan kita kepada
sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh seorang calon. Orang yang memilih karena
komitmen spiritual sangat berhati-hati dalam menentukan pilihannya. Mereka akan sungguh-sungguh
mempelajari figure calon, dan kalaupun tidak paham mereka akan menanyakannya
kepada orang yang lebih paham tentang calon. Pemilih yang punya kecerdasan
spiritual tidak akan memaksakan alasan (seperti belum menemukan calon yang
baik) untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Manakala menghadapi jalan buntu
mereka akan melakukan sholat istikharah - Mengandalkan Tuhan sebagai tempat
memohon petunjuk – tidak lantas menempatkan diri sebagai bagian dari para
pengibar omong kosong bendera putih (golput). Orang yang memilih karena
komitmen spiritual tidak akan mengukur nilai calon berdasarkan panjang lebar
ususnya sendiri, sehingga tidak akan tertipu oleh iming-iming sejumlah uang
atau proyek yang dijanjikan. Boro-boro menjatuhkan pilihan berdasarkan ikatan
persahabatan, saudara, kolega, satu suku atau karena bertetangga.
Penulis yakin jika rakyat sebagai pemilih mau membekali
diri dan melibatkan tiga instrument tersebut dalam membuat keputusan ketika
memilih maka barulah bisa terwujud lahirnya pemimpin
yang amanah dan benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya
bisa menjual aset atau kekayaan alam wilayahnya untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Pemimpin yang cerdas yang tidak gampang ditipu oleh bawahan atau
kelompok lain. Jika pemilih masih belum mau merubah pola pikirnya dalam memilih
maka jangan salahkan siapa-siapa jika kesejahteraan yang kita impikan itu hanya
bisa kita pandang dan nikmati keberadaannya dalam bentuk siluet.
Semoga tulisan ini bermanfaat mengingat aroma Pemilukada
dari hari ke hari semakin menyengat dirasakan oleh masyarakat NTB serta Kota
Bima. Hajatan politik 5 tahunan dalam memilih langsung nakhoda daerah
selanjutnya sebagai wujud nyata responsibilitas dan akuntabilitas. Dimana kita
sebagai rakyat melakoni peran sebagai raja yang sebenarnya. Maka JADILAH RAJA YANG BIJAKSANA, MESKI HANYA
BERTAKHTA DALAM HITUNGAN DETIK. MESKI HANYA BERSINGGASANA DALAM BILIK TPS YANG
REOT!
Penulis: Anggota Kampung Media Jompa Mbojo Kecamatan Woha
Kabupaten Bima
No comments:
Post a Comment