text-align: left;"> KAMPUNG MEDIA "JOMPA - MBOJO" KABUPATEN BIMA: Pemimpin Bijaksana Lahir dari Pemilih Bijak
Info

SELAMAT DATANG

Di Kabupaten Bima, Komunitas Kampung Media pertama yang dibentuk yakni, JOMPA MBOJO. Pasca dikukuhkan di Kantor Camat Woha pada tahun 2009, Kampung Media JOMPA MBOJO secara langsung membangun komunikasi dengan DISHUBKOMINFO Kab. Bima. Pada Jambore Kampung Media NTB (15/9/2012), JOMPA MBOJO mendapatkan penghargaan pada kategori “The Best Promotor”, yang merupakan penilaian tentang peran serta Pemerintah Daerah dalam menunjang segala kegiatan Komunitas Kampung Media, dan juga dinobatkan sebagai DUTA INFORMASI.

Sekilas Tentang Admin

Bambang Bimawan, tapi biasa dipanggil Bimbim.

Thursday 10 May 2012

Pemimpin Bijaksana Lahir dari Pemilih Bijak


Oleh : Mustamin

Terhitung 14  Tahun sudah era reformasi sejak digulirkan pertengahan Tahun 1998 lalu, Rakyat Indonesia menggunakan hak pilih secara langsung baik dalam pemilihan presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), setelah 35 tahun masa orde baru (orba) rakyat ‘menitipkan’ suaranya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai kemudian amanat itu dicabut. Tidak bisa dipungkiri pencabutan hak pilih atas DPR ini semata-mata merupakan manivestasi dari runtuhnya kredibilitas DPR di mata rakyat (pada saat itu).
Yang menjadi pertanyaan adalah. Pertama, siapa yang memilih DPR kala itu? Toh DPR adalah produk langsung dari rakyat sebagaimana halnya di era reformasi sekarang, yang membedakan hanyalah proses pemilihannya dilangsungkan dalam system multi-partai (di mana sebenarnya kita malah merujuk mundur  untuk kembali mengadopsi system orde lama yang nota bene system politiknya sangat tidak stabil). Artinya di sini DPR adalah ‘buah tangan’ dari rakyat dan manakala ‘buah tangan’nya itu tidak amanah, maka siapakah yang harus disalahkan? Logika penulis cenderung menyalahkan rakyat itu sendiri yang tidak amanah terhadap ilmu, nurani, nilai-nilai dan etika sebagai pemilih.
Pertanyaan kedua, apakah dengan pemilihan langsung atas presiden dan kepala daerah dalam era reformasi seperti sekarang ini, rakyat Indonesia menjadi lebih sejahtera dibandingkan dengan era-era sebelum reformasi? (Sejahtera sebagaimana didefinisikan oleh Menkokesra - www.menkokesra.go.id - yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa). Berdasarkan hasil survey dari Lembaga Survey Indonesia dan Indo Barometer serta beberapa lembaga lain kesimpulannya sangat tegas yaitu Tidak Lebih Baik malah cenderung lebih buruk. Artinya, jika Presiden dan Kepala Daerah yang juga merupakan ‘buah tangan’ rakyat ini tidak mampu mengelola kekuasaannya secara beradab, maka penulis tidak mampu menemukan ‘kambing hitam’ selain lagi-lagi harus menyalahkan rakyat (tentu saja terlepas dari dialek mayoritas dan minoritas).
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengapikan titik didih perdebatan ‘pemilihan langsung Vs pemilihan tidak langsung’ dan ‘Orla/Orba Vs Reformasi’, juga untuk sementara kita acuhkan polemik tentang mana yang lebih penting antara proses pemilihan dan produk dari pemilihan karena satu hal yang pasti adalah dalam tiga era politik yang dilalui oleh negeri ini dalam beragam liuk alur prosesnya, semua berlandaskan atas pilar yang sama, yaitu Demokrasi. Di mana system pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat - Begitulah pemahaman sederhana yang diketahui oleh hampir semua orang -  Untuk itu tulisan ini akan difokuskan pada gambaran pemilukada dan membangun kesadaran serta kecerdasan politik rakyat, karena rakyat adalah anak kunci bagi Demokrasi untuk membuka gembok kesejahteraan.
Sungguh era kenabian itu sudah diangkat, maka harapan untuk mendapatkan pemimpin yang baik turun dari langit tidaklah memungkinkan lagi. Maha Suci Tuhan - yang terlepas dari konsep demokrasi yang negara kita anut ini - seolah-olah Tuhanpun ‘lepas tangan’ dalam demokrasi ini dan semuanya diserahkan sepenuh-penuhnya di tangan rakyat, maka baik buruknya seorang pemimpin tergantung sungguh pada baik buruknya sudut pandang rakyat dalam memilih. Ini bukan sekedar ‘hukum karma’ tapi harus lebih dipahami sebagai sebuah ‘konsekuensi’.  Baiklah, ada baiknya kita mengulas lagi tentang kriteria-kriteria utama yang harusnya ada dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dari sekian banyak rujukan tentang teori kepemimpinan (leadership) yang pernah penulis baca, maka penulis menyimpulkan bahwa ada 3 kriteria utama yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin yang baik, yaitu memiliki, pertama: Kecerdasan intelegensi atau IQ (Intellegence Quotients) yang merupakan kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya.
Kedua, Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotients) berupa kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotients) berupa kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri. kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berasal dari dalam hati, menjadikan kita kreatif ketika kita dihadapkan pada masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya, serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan dan kedamaian hati. Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya.
Dari ketiga kecerdasan (selanjutnya akan disebut IESQ) itulah wujudnya pemimpin yang berjiwa leadership, bijaksana, berakhlak mulia dan bertanggung jawab sebagaimana yang kita impikan selama ini. Masalahnya adalah bagaimana cara mendapatkan pemimpin yang seperti itu? Konsepnya sederhana sebenarnya menurut penulis yaitu kembali pada makna demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka untuk mendapatkan pemimpin impian tersebut, terlebih dahulu rakyat itu sendiri harus membekali diri dan megutamakan kecerdasan IESQ dalam memilih pemimpin. Selama ini kelemahan terbesar kita adalah terlalu fokus membahas kemampuan calon pemimpin sehingga melupakan bekal rakyat sebagai calon pemilih. Pemimpin yang memiliki kecerdasan IESQ hanya akan wujud dari rakyat yang membekali dan menggunakan hak pilihnya dengan berdasarkan atas kecerdasan IESQ pula. Itu adalah hukum alam (kodrat) sebagaimana layaknya keledai hanya dan hanya akan beranak keledai.
Ada satu fenomena menarik dimana kandidat dalam pemilukada umumnya berasal dari birokrat, pengusaha, dan politisi (Anggota Dewan). Sekedar contoh coba kita bandingkangkan dengan Tokoh Agama. Tokoh Agama yang sudah terbiasa menggetarkan mimbar di depan umatnya seolah-olah menjadi figur yang hilang dalam bursa pencalonan oleh parpol pengusung. Suka atau tidak suka ada dua titik persamaan pokok yang nampak dari birokrat, pengusaha dan politisi tersebut yang membedakannya dengan tokoh agama yaitu pertama mereka berduit dan kedua mereka lebih konsumtif (popular) bagi konstituen. Artinya uang dan popularitas adalah ‘barang’ tawaran yang paling layak jual dalam pagelaran pemilukada, karena memang konstituen menuntut ‘barang’ yang sama untuk dibarter dengan hak suara semata wayangnya. Sehingga pemilukada layaknya ‘pasar raya’ yang digelar sekali dalam lima tahun dimana hukum permintaan dan penawaran berlaku sempurna plus berbagai diskon ‘harga diri’nya. Dan rakyat lah yang membuat iklim ‘pasar raya’ tersebut, memangnya siapa lagi? Para calon hanya memanfaatkan peluang yang diciptakan sendiri oleh konstituennya.
Hubungannya dengan IESQ, bahwa dalam perspektif  IESQ ada tiga instrumen yang biasanya melandasi pemilih dalam menentukan pilihannya, yaitu : instrumen fisik, emosi dan spiritual. Dari segi instrument fisik, fenomena di atas menggambarkan betapa matre dan mata duitan sebenarnya kita sebagai pemilih ini. Kebutuhan dana politik yang besar bagi para calon sangat erat kaitannya dengan sifat matre dari konstituen. Karena pilihan kita dilandasi oleh keuntungan fisik material yang bisa didapatkan baik itu berupa uang, sandang, pangan maupun kontrak politik tertentu lainnya. Maka tidak heran jika menghasilkan pemimpin yang matre dan mata duitan (tidak harus berarti korup). Hal itu tidak akan terjadi sebenarnya seandainya kita lebih mengedepankan nalarisasi betapa uang atau apapun bentuk material yang ditawar janjikan itu tidak ada nilainya dibandingkan dengan apa yang seharusnya bisa kita dapatkan selama lima tahun ke depan di bawah kepemimpinan seorang yang ideal.
Kedua, instrumen emosi yaitu ketika kita sebagai pemilih melandaskan pilihan berdasarkan faktor emosional semata dan hanya ikut-ikutan tanpa menimbang-nimbang kemampuan calon. Misalnya karena adanya hubungan persahabatan, keluarga, atau solidaritas suku dan wilayah. Jika kita memliki kecerdasan emosional pasti akan mengabaikan emosi pribadi dan rela menjadi ‘raja tega’ siap dihujat dan dijauhi sahabat dan keluarga akibat menjaga komitmennya. Karena pilihan yang dilandasi oleh emosi pribadi hanya akan menghasilkan pemimpin yang tidak becus menjalankan roda kekuasaannya. Fenomena di atas juga memberikan gambaran betapa taklid butanya rakyat sebagai pemilih itu, kalau tidak taklid buta dan ikut-ikutan maka popularitas calon tidak akan laris dijajakan. Dan manakala pilihan kita semata dilandasi oleh popularitas maka lihat saja pemimpin yang dihasilkan tidak lebih hanyalah ahli retorika yang hanya pandai berbicara dan kerap mengulang-ulang kata yang sama yaitu “Saya janji… Saya Janji… Saya janji”.
Terakhir adalah instrument spiritual (ini adalah instrument yang paling penting) yaitu ketika kita memilih karena dilandasi oleh ketertarikan kita kepada sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh seorang calon. Orang yang memilih karena komitmen spiritual sangat berhati-hati dalam menentukan pilihannya. Mereka  akan sungguh-sungguh mempelajari figure calon, dan kalaupun tidak paham mereka akan menanyakannya kepada orang yang lebih paham tentang calon. Pemilih yang punya kecerdasan spiritual tidak akan memaksakan alasan (seperti belum menemukan calon yang baik) untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Manakala menghadapi jalan buntu mereka akan melakukan sholat istikharah - Mengandalkan Tuhan sebagai tempat memohon petunjuk – tidak lantas menempatkan diri sebagai bagian dari para pengibar omong kosong bendera putih (golput). Orang yang memilih karena komitmen spiritual tidak akan mengukur nilai calon berdasarkan panjang lebar ususnya sendiri, sehingga tidak akan tertipu oleh iming-iming sejumlah uang atau proyek yang dijanjikan. Boro-boro menjatuhkan pilihan berdasarkan ikatan persahabatan, saudara, kolega, satu suku atau karena bertetangga.

Penulis yakin jika rakyat sebagai pemilih mau membekali diri dan melibatkan tiga instrument tersebut dalam membuat keputusan ketika memilih maka barulah bisa terwujud  lahirnya pemimpin yang amanah dan benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset atau kekayaan alam wilayahnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemimpin yang cerdas yang tidak gampang ditipu oleh bawahan atau kelompok lain. Jika pemilih masih belum mau merubah pola pikirnya dalam memilih maka jangan salahkan siapa-siapa jika kesejahteraan yang kita impikan itu hanya bisa kita pandang dan nikmati keberadaannya dalam bentuk siluet.
Semoga tulisan ini bermanfaat mengingat aroma Pemilukada dari hari ke hari semakin menyengat dirasakan oleh masyarakat NTB serta Kota Bima. Hajatan politik 5 tahunan dalam memilih langsung nakhoda daerah selanjutnya sebagai wujud nyata responsibilitas dan akuntabilitas. Dimana kita sebagai rakyat melakoni peran sebagai raja yang sebenarnya. Maka JADILAH RAJA YANG BIJAKSANA, MESKI HANYA BERTAKHTA DALAM HITUNGAN DETIK. MESKI HANYA BERSINGGASANA DALAM BILIK TPS YANG REOT!
Penulis: Anggota Kampung Media Jompa Mbojo Kecamatan Woha Kabupaten Bima











No comments:

Post a Comment