Dr. Amran Amir |
Acara “Tuha ro Lanti” merupakan upacara adat Bima
dalam rangka pelantikan Sultan Bima,
yang dilakukan pada masa kesultanan secara turun temurun. Kegiatan yang syarat
dengan nilai-nilai filosofi tersebut, pada saat ini dihidupkan kembali sebagai
upaya pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Disamping sebagai upaya pelestarian budaya, upacara
adat “Tuha ro Lanti” diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran bagi generasi
muda terhadap nilai-nilai kearifan lokal Dana Mbojo, serta menumbuhkembangkan
atraksi-atraksi seni budaya tradisional Bima yang saat ini sudah mulai pudar
ditengah-tengah masyarakat Bima.
Terdapat beberapa hal penting yang dapat diambil
hikmahnya dari nilai-nilai filosofis yang terkandung didalam setiap tahapan
dari prosesi “Tuha Ro Lanti” dimaksud. Diantaranya adalah, bahwa telah terjadi
proses demokrasi yang sesungguhnya yang tergambar pada prosesi “Tuha” yang
dilakukan oleh para Ncuhi waktu itu (sebelum masa kerajaan, Dana Mbojo waktu
itu dipimpin oleh para Ncuhi, sebutan bagi penguasa wilayah, Kepala Kampung, Tuan Tanah, Orang Tua Adat dll).
Prosesi “Tuha” diawali dengan Musyawarah para Ncuhi
untuk menilai kepatutan dan kepantasan calon Raja atau calon Sultan untuk
diangkat menjadi Raja atau Sultan. Setelah Musyawarah paran Ncuhi menemui kata
sepakat, kemudian para Ncuhi yang dipimpin oleh Ncuhi ‘Dara waktu itu
mengadakan sosialisasi, meminta pertimbangan dan pendapat kepada masyarakat,
setelah masyarakat menyatakan setuju dan mendukung, maka Ncuhi ‘Dara dan
Ncuhi-ncuhi lainnya berdialog dengan calon Sultan. Diantara pesan Ncuhi waktu
itu antara lain “Su’u sa wale sia sa wa’u”
yang dapat diartikan “selalu siap memikul beban dan tanggungjawab seberat
apapun dan dalam keadaan apapun secara maksimal”, “su’u sawalepu parenta Sara”, diingatkan agar selalu menjunjung tinggi perintah
hukum “Sara” (dapat diartikan sebagai tata aturan dalam sistem pemerintahan
yang demokrasi), dimana dalam sistem pemerintahan kesultanan waktu itu ada tiga
lembaga besar yang disebut “Sara” yaitu Sara
Sara, Sara Hukum dan Sara Tua. Sara Sara sebagai lembaga eksekutifnya
yaitu Sultan dan Perangkat Istana, Sara
Tua sebagai lembaga legislatifnya yang terdiri dari Ncuhi-ncuhi,
tokoh-tokoh masyarakat, para tetuan adat dll., Sara hukum sebagai lembaga
yudikatifnya yang terdiri dari Lebe Na’e, Tuan Guru, dll. Disamping itu ada
perangkat lembaga terkekecil yang disebut Tua
Ma Tengi Sara yaitu terdiri dari seperti Pamong Desa, Panggawa,
dll. Pamong Desa bertugas membantu
urusan pemerintahan di Desa atau menjembatani hubungan masyarakat dengan
pemerintah, Panggawa yang bertugas
membantu mengatur penggunaan lahan pertanian di Desa.
Secara bergantian pula para Ncuhi lain memberi pesan,
bertanya dan mengingatkan kepada calon Sultan, diantaranya peringatan Ncuhi “sumpa ro sake
ake saksi ‘ba Ndai Ruma Allah SWT.” Yang
artinya sumpah
dan Janji ini disaksikan oleh Allah SWT. Sementara jawaban dari calon Sultan,
hanya satu kalimat kunci yang diucapkannya, yang menjadi penguat bagi para
Ncuhi untuk tidak ragu lagi mengangkatnya menjadi Sultan, yaitu “Tohompa ra
ndaiku surampa dou ma la’bo dana” yang kalau
diterjemahkan secara leterleks artinya “daripada pribadiku, yang lebih utama
adalah masyarakat dengan tanah Bima”, sebuah pernyataan kesiapan seorang Sultan
untuk menempatkan kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan Dana Mbojo
diatas kepentingan pribadi dan keluarganya didalam memimpin Dana Mbojo.
Kemudin pada saat upacara “Lanti”, dimana calon Sultan
yang dilantik, duduk bersilah di atas tikar (“Dipi Umpu”) menggambarkan bahwa
sebelum menjadi sultan posisinya sejajar atau sama dengan rakyat biasa dan
dilahirkan oleh rakyat. Pada prosesi “Lanti”, ada
suatu acara yang disebut “Ka-Nde” yang dilakukan oleh “Gelarang Na’e”,
merupakan persembahan atau penyampaian harapan rakyat kepada Sultan, yang
isinya berupa harapan-harapan, pesan-pesan, dan peringatan-peringatan dari
rakyat, disampaikan oleh Gelarang Na’e mewakili rakyat banyak, kemudian ditutup
dengan acara “Makka”. Acara Makka merupakan penguatan oleh ‘Bumi Renda yang
menggambarkan sifat Heroik ‘Bumi Renda untuk memberi semangat kepada Sultan
yang baru dilantik.
Semoga kita lebih cerdas lagi mencermati nilai-nilai
positif yang terkandung dalam filosofi tua masyarakat Dana Mbojo seperti “Maja Labo Dahu”, “Nggahi Rawi Pahu” dll. “Maja
Labo Dahu” (malu kepada sesama manusia dan takut kepada Allah) merupakan
sebuah pesan moral yang mengingatkan kita, agar memilki rasa malu kepada sesama
manusia untuk melakukan tindakan-tindakan amoral dan merasa takut untuk
melanggar ketentuan dan hukum-hukum Allah SWT. Sementara pesan moral yang
terkandung dalam filosofi “Nggahi Rawi
Pahu”, mengingatkan kita agar selalu selaras antara ucapan, perilaku dan
hasil karya.
Dari uraian diatas, semoga kita dapat memetik
hikmahnya dan yang lebih penting kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima
tetap menghormati dan memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam
sejak nenek moyang, dan benar-benar menghayati nilai-nilai filosofis yang
terkandung didalam setiap tahapan dari prosei “Tuha Ro Lanti” yang akan digelar
nanti.
No comments:
Post a Comment