text-align: left;"> KAMPUNG MEDIA "JOMPA - MBOJO" KABUPATEN BIMA: FILOSOFI UPACARA ADAT “TUHA RO LANTI”
Info

SELAMAT DATANG

Di Kabupaten Bima, Komunitas Kampung Media pertama yang dibentuk yakni, JOMPA MBOJO. Pasca dikukuhkan di Kantor Camat Woha pada tahun 2009, Kampung Media JOMPA MBOJO secara langsung membangun komunikasi dengan DISHUBKOMINFO Kab. Bima. Pada Jambore Kampung Media NTB (15/9/2012), JOMPA MBOJO mendapatkan penghargaan pada kategori “The Best Promotor”, yang merupakan penilaian tentang peran serta Pemerintah Daerah dalam menunjang segala kegiatan Komunitas Kampung Media, dan juga dinobatkan sebagai DUTA INFORMASI.

Sekilas Tentang Admin

Bambang Bimawan, tapi biasa dipanggil Bimbim.

Tuesday 2 July 2013

FILOSOFI UPACARA ADAT “TUHA RO LANTI”


Dr. Amran Amir




Acara “Tuha ro Lanti” merupakan upacara adat Bima dalam rangka  pelantikan Sultan Bima, yang dilakukan pada masa kesultanan secara turun temurun. Kegiatan yang syarat dengan nilai-nilai filosofi tersebut, pada saat ini dihidupkan kembali sebagai upaya pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Disamping sebagai upaya pelestarian budaya, upacara adat “Tuha ro Lanti” diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran bagi generasi muda terhadap nilai-nilai kearifan lokal Dana Mbojo, serta menumbuhkembangkan atraksi-atraksi seni budaya tradisional Bima yang saat ini sudah mulai pudar ditengah-tengah masyarakat Bima.

Terdapat beberapa hal penting yang dapat diambil hikmahnya dari nilai-nilai filosofis yang terkandung didalam setiap tahapan dari prosesi “Tuha Ro Lanti” dimaksud. Diantaranya adalah, bahwa telah terjadi proses demokrasi yang sesungguhnya yang tergambar pada prosesi “Tuha” yang dilakukan oleh para Ncuhi waktu itu (sebelum masa kerajaan, Dana Mbojo waktu itu dipimpin oleh para Ncuhi, sebutan bagi penguasa wilayah, Kepala Kampung, Tuan Tanah, Orang Tua Adat dll).
Prosesi “Tuha” diawali dengan Musyawarah para Ncuhi untuk menilai kepatutan dan kepantasan calon Raja atau calon Sultan untuk diangkat menjadi Raja atau Sultan. Setelah Musyawarah paran Ncuhi menemui kata sepakat, kemudian para Ncuhi yang dipimpin oleh Ncuhi ‘Dara waktu itu mengadakan sosialisasi, meminta pertimbangan dan pendapat kepada masyarakat, setelah masyarakat menyatakan setuju dan mendukung, maka Ncuhi ‘Dara dan Ncuhi-ncuhi lainnya berdialog dengan calon Sultan. Diantara pesan Ncuhi waktu itu antara lain “Su’u sa wale sia sa wa’u” yang dapat diartikan “selalu siap memikul beban dan tanggungjawab seberat apapun dan dalam keadaan apapun secara maksimal”, “su’u sawalepu parenta Sara”, diingatkan agar selalu menjunjung tinggi perintah hukum “Sara” (dapat diartikan sebagai tata aturan dalam sistem pemerintahan yang demokrasi), dimana dalam sistem pemerintahan kesultanan waktu itu ada tiga lembaga besar yang disebut “Sara” yaitu Sara Sara, Sara Hukum dan Sara Tua. Sara Sara sebagai lembaga eksekutifnya yaitu Sultan dan Perangkat Istana, Sara Tua sebagai lembaga legislatifnya yang terdiri dari Ncuhi-ncuhi, tokoh-tokoh masyarakat, para tetuan adat dll., Sara hukum sebagai lembaga yudikatifnya yang terdiri dari Lebe Na’e, Tuan Guru, dll. Disamping itu ada perangkat lembaga terkekecil yang disebut Tua Ma Tengi Sara yaitu terdiri dari seperti Pamong Desa, Panggawa, dll. Pamong Desa bertugas membantu urusan pemerintahan di Desa atau menjembatani hubungan masyarakat dengan pemerintah, Panggawa yang bertugas membantu mengatur penggunaan lahan pertanian di Desa.
Secara bergantian pula para Ncuhi lain memberi pesan, bertanya dan mengingatkan kepada calon Sultan, diantaranya peringatan Ncuhi “sumpa ro sake ake saksi ‘ba Ndai Ruma Allah SWT.” Yang artinya sumpah dan Janji ini disaksikan oleh Allah SWT. Sementara jawaban dari calon Sultan, hanya satu kalimat kunci yang diucapkannya, yang menjadi penguat bagi para Ncuhi untuk tidak ragu lagi mengangkatnya menjadi Sultan, yaitu “Tohompa ra ndaiku surampa dou ma la’bo dana” yang kalau diterjemahkan secara leterleks artinya “daripada pribadiku, yang lebih utama adalah masyarakat dengan tanah Bima”, sebuah pernyataan kesiapan seorang Sultan untuk menempatkan kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan Dana Mbojo diatas kepentingan pribadi dan keluarganya didalam memimpin Dana Mbojo.
Kemudin pada saat upacara “Lanti”, dimana calon Sultan yang dilantik, duduk bersilah di atas tikar (“Dipi Umpu”) menggambarkan bahwa sebelum menjadi sultan posisinya sejajar atau sama dengan rakyat biasa dan dilahirkan oleh rakyat. Pada prosesi “Lanti”, ada suatu acara yang disebut “Ka-Nde” yang dilakukan oleh “Gelarang Na’e”, merupakan persembahan atau penyampaian harapan rakyat kepada Sultan, yang isinya berupa harapan-harapan, pesan-pesan, dan peringatan-peringatan dari rakyat, disampaikan oleh Gelarang Na’e mewakili rakyat banyak, kemudian ditutup dengan acara “Makka”. Acara Makka merupakan penguatan oleh ‘Bumi Renda yang menggambarkan sifat Heroik ‘Bumi Renda untuk memberi semangat kepada Sultan yang baru dilantik.
Semoga kita lebih cerdas lagi mencermati nilai-nilai positif yang terkandung dalam filosofi tua masyarakat Dana Mbojo seperti “Maja Labo Dahu”, “Nggahi Rawi Pahu” dll. “Maja Labo Dahu” (malu kepada sesama manusia dan takut kepada Allah) merupakan sebuah pesan moral yang mengingatkan kita, agar memilki rasa malu kepada sesama manusia untuk melakukan tindakan-tindakan amoral dan merasa takut untuk melanggar ketentuan dan hukum-hukum Allah SWT. Sementara pesan moral yang terkandung dalam filosofi “Nggahi Rawi Pahu”, mengingatkan kita agar selalu selaras antara ucapan, perilaku dan hasil karya.
Dari uraian diatas, semoga kita dapat memetik hikmahnya dan yang lebih penting kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap menghormati dan memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang, dan benar-benar menghayati nilai-nilai filosofis yang terkandung didalam setiap tahapan dari prosei “Tuha Ro Lanti” yang akan digelar nanti.

No comments:

Post a Comment