text-align: left;"> KAMPUNG MEDIA "JOMPA - MBOJO" KABUPATEN BIMA: Mengulas Khayal Sang Kakak di Beranda Masjid
Info

SELAMAT DATANG

Di Kabupaten Bima, Komunitas Kampung Media pertama yang dibentuk yakni, JOMPA MBOJO. Pasca dikukuhkan di Kantor Camat Woha pada tahun 2009, Kampung Media JOMPA MBOJO secara langsung membangun komunikasi dengan DISHUBKOMINFO Kab. Bima. Pada Jambore Kampung Media NTB (15/9/2012), JOMPA MBOJO mendapatkan penghargaan pada kategori “The Best Promotor”, yang merupakan penilaian tentang peran serta Pemerintah Daerah dalam menunjang segala kegiatan Komunitas Kampung Media, dan juga dinobatkan sebagai DUTA INFORMASI.

Sekilas Tentang Admin

Bambang Bimawan, tapi biasa dipanggil Bimbim.

Thursday 14 November 2013

Mengulas Khayal Sang Kakak di Beranda Masjid



Kupasan yang termuat dalam tulisan ini hanya kisah biasa dalam keseharian saya. Namun dari kisah yang dilewatkan, menggelitik sekaligus menggoda jari-jari saya untuk meraba keyboard laptop usang saya miliki, sehingga menjadi kata dan rangkaian kalimat yang mungkin layak untuk disaji. Berikut catatan kisahnya.....
Bermula ketika Ibu saya meminta untuk diantarkan buah-buahan ke rumah seorang kakak saya, Ibrahim, M.Nur yang dikhabarkan terserang flu dan demam. Ketika sampai di rumahnya, alih-alih melihat kakak saya itu berbaring lesu di pembaringan ia malah saya temui sedang terbahak-bahak mencandai si Putri, anak bungsunya yang tampak riang dibuatnya.
Sayapun dibawa ngobrol ke ruang tamu. Obrol punya obrol, ada satu hal menarik menurut saya perlu dirangkum menjadi sebuah tulisan. Yaitu tentang lamunannya tempo hari ketika ia terbawa suasana ‘sepi’ sendirian duduk menggelepok di beranda mesjid ba’da Maghrib.

Kepada saya, ia cerita membayang-khayalkan tentang masjid yang ada ‘mengepulkan asap’ dari dapurnya. Sementara di beranda Mesjid yang kini rata-rata berubin keramik, ramai warga duduk berkerumun bersamanya dalam suasana santai dan tertib melepas letih-lelah, penat dan mungkin jenuhnya ketika menggeluti aktivitas dalam profesi kesehariannya.
Semakin manis ketika ia membayangkan bahwa, Sembari menunggu suguhan seadanya dari dapur masjid.  Kumpulan warga di beranda masjid tersebut saling sharing tentang apa saja. Mungkin ada sebagian dari mereka mengeluhkan masalah-masalah yang mereka hadapi sementara sebagian lain menanggapinya dengan simpatik atau bisa saja ada yang mencoba melontarkan gagasan solusi dan bantuan riel bagi permasalahan rekan warganya.
Atau ada sebagian dari mereka yang mungkin peka, lantas  mengesalkan atau menyesalkan fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya, sementara ada sebagian lain yang diilhami ide kreatif untuk memberantas penyakit social tersebut.
Lantas khayalnya, kumpulan warga yang sedang asyik sharing tersebut semakin berseri-seri manakala dari arah dapur masjid mendekatlah beberapa orang (laki-laki) yang memang mendapat giliran tugas melayani. Datang dengan rona ikhlas membawa nampan berisi kopi dan atau teh, serta jajanan (jika mungkin). Lalu sambil menikmati suguhan tersebut mereka kembali lanjut saling sharing atau diisi dengan kegiatan lain, andai telah direncanakan sebelumnya sampai tibanya sholat Isya’ berjamaah.
Ia membayangkan betapa ceria dan amannya perasaan warga ketika berada dalam jalinan silaturrahmi yang santun, hangat, dan akrab seperti itu. Dan ketika akan pulang ke rumahnya masing-masing, Ibrahim meyakini akan ada banyak makna dan nilai yang dapat mereka gunakan sebagai bahan renungan dan bahan cerita buat keluarganya masing-masing. Demikian Ibrahim mengakhiri cerita tentang apa yang dilamunkannya waktu itu.
Sementara saya sendiri ketika bertolak dari rumahnya membawa pulang lamunan lain. Saya membayangkan seandainya saja ada banyak orang memiliki lamunan yang sama dengan Ibrahim. Maka pasti lamunan itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Atau Bisa jadi benar-benar ada banyak lamunan yang sama di luar sana, hanya saja mungkin mereka anggap itu hanyalah lamunannya seorang sehingga sulit terwujud sampai pada akhirnya menjadi lamunan yang tidak penting lagi. Maka itu masuk akal jika tulisan ini saya lamunkan bisa mengkhabarkan dan lalu menyatukan lamunan yang sama.
Ibrahim menyesalkan betapa mesjid kita telah banyak kehilangan fungsinya. Teristimewa fungsi sosialnya, terlepas dari manusia sebagai makhluk yang beragama. Bahwa masjid kita tidak lagi menyentuh dan kehilangannya banyak manfaatnya bagi manusia sebagai makhluk social. Maka tidak heran betapapun masjid dibangun semegah-indahnya tetap saja isinya tidak banyak bertambah. Karena secara social memang kurang menarik. Intinya masjid harus memiliki daya tarik secara sosial
Saya teringat dengan seorang warga yang dikenal kocak, namanya Abdurrahman. Tidak biasanya dia berdiri menekur dada di pinggir jalan bersama gerombolan pemuda lainnya saat adzan dilantunkan. Saya sapa dia dan menyatakan heran kenapa dia tidak segera ke masjid. Dengan lugas dia bilang malas ke masjid karena isinya orang itu-itu saja, tidak ada yang baru. Lantas ditanggap tawa oleh teman-temannya yang lain.
Ibrahim mungkin mewakili banyak orang yang merasa ngeri namun hanya bisa menahan geram melihat dinamika dan pola hidup yang kekinian. Kalau dulu, mungkin cerita tentang kriminalitas dan keji asusila hanya ada kita tonton-dengar dengan risih dan muka yang kemerah-merahan karena rasa malu di Televisi Nasional. Mengabarkan kejadian nun jauh di kota-kota besar sana. Tapi sekarang menurut hematnya cerita yang mirip bukan lagi warta eksklusif di Televisi tapi sudah menjadi fakta umum yang detil terpampang di depan mata. Layaknya barang mewah yang dulu hanya ada dipajang di rak kaca super market, sekarang sudah banyak dijajakan dalam bakulan pedagang di pasar-pasar tradisional.
Sederhana menurut Ibrahim jika ingin mewujudkan fungsi social masjid. Bisa dimulai dengan langkah kecil dengan diadakannya ‘Momen Khidmat Mesjid’ sebagaimana yang ia lamunkan. Tidak perlu tiap hari tapi bisa sekali seminggu. dengan tekhnis pelaksanaan yang disepakati.  Sehingga diharapkan mampu menarik minat warga untuk datang bertamu di rumahnya-Nya. Beribadah secara vertical dan menjalin kebersamaan secara horizontal.
Logika yang sederhana menurut Ibrahim, Petani yang paling bodoh sekalipun tau jikalau kita ingin menumbuh-kembangkan sesuatu maka pertama kali kita harus menciptakan iklim pendukungnya. Maka menurutnya momen khidmat masjid adalah salah satu upaya untuk menciptakan suasana agama. Dimana ada sekelompok warga sembari menikmati suguhan, mempertontonkan kebersamaannya dan memperlihatkan kerukunannya, serta memamerkan betapa betahnya mereka berada di mesjid kepada warga lain. Maka perlahan tapi pasti Mesjid akan menjadi Tempat jamuan rohani yang kembali ramai.
Momen khidmat masjid ini lanjutnya adalah upaya mendekatkan warga dengan masjid melalui sentuhan jasmaninya, maka selanjutnya Allah yang akan melakukan sentuhan terhadap rohaninya. Akan tetap menjadi omong kosong yang paling lantang kalau ingin mendekatkan suatu umat kepada agamanya tanpa adanya upaya mendekatkan umat itu sendiri dengan tempat ibadahnya.
Sebenarnya saya ingin langsung mengakhiri tulisan ini sampai di sini, tetapi saya tidak mampu menahannya. Saya terus tergelitik untuk menulis tentang lamunan terakhir,  seandainya saja Pemerintah Daerah Kabupaten Bima mempunyai lamunan yang sama dengan Ibrahim. Karena sudah saatnya Program Jum’at Khusyu memiliki ‘pendamping hidup’nya setelah sekian lama jalan sendiri tanpa program pendukung lain yang sejenis dan berkesinambungan. Tidak adil bermuka masam mengkhawatirkan masalah dana. Yang penting kita melamunkannya bersama terlebih dulu dan siapa yang butuh dana untuk berlamun! [Mus]

No comments:

Post a Comment